Tatapan Masa
Lalu
Mengapa????
Haruskah yang terlupakan itu teringat kembali dengan sebuah tatapan mata?
Rasanya bumi terus berputar, namun mengapa kerisauan itu kembali datang?
Haruskah kucari dan kutemukan jawaban dari penantian yang memilukan ini?
Seorang perantau
yang memulai hidupnya sebagai mahasiswi baru di salah satu universitas ternama
di kota Makassar. Risa adalah nama dari gadis muda itu. Dia adalah salah satu
mahasiswi di Fakultas Pertanian. Dengan keyakinan penuh, dengan restu kedua
orang tuanya, dia mencoba mengadu nasib dengan melanjutkan studinya di kota
besar itu.
Betapa malang
nasib gadis itu, tak lama berdomisili di kota orang, dia mendapatkan perlakuan
yang kurang menyenangkan di rumah tempat ia menumpang hidup. Jadwal kuliah yang
sangat padat di awal semester, membuatnya sering mendapat caci maki dari orang
rumah. Karena sibuk dengan aktivitas kuliah, diapun tak pernah berfikir masalah
percintaan. Tak sedikit temannya yang heran dengan sikapnya.
Setiap kali
mendapat pertanyaan seputar percintaan, dia selalu kesal dan tak jarang
memarahi temannya yang melontarkan pertanyaan itu. Namun, yang namanya
perempuan, pasti tetap memiliki hati dan perasaan. Bukan karena benci ataupun
marah, tapi karena aktivitas padat yang membuatnya seperti ini.
Dia sering kali
menjadi bahan olok-olokan teman-temannya. Karena dari sekian teman dekatnya,
hanya Risa yang masih berstatus lajang. Namun, karena tak ada sedikitpun
niatnya untuk sementara waktu memikirkan hal itu, olokan teman-temannya pun tak
dijadikan masalah.
Amanah dari orang
tuanya lebih diutamakan. Usaha untuk memperoleh nilai tinggi di kampus dan juga
usaha memperbaiki nama baiknya di tempat tinggalnya sekarang adalah prioritas
utamanya. Namun, waktu berjalan tak terasa hingga dia berada pada keadaan yang
sangat sulit.
Saat berjalan
ditengah sengatan terik matahari yang begitu menyilaukan, langkah kakinya
membawanya di sebuah taman dekat gedung yang masih asing baginya. Lalu lalang
orang-orang asing bagi matanya. Tak disangka, dalam perjalanannya, tanpa
sengaja dia melihat lelaki dan menatap matanya. Saat tatapan itu tertancap,
hatinya bergetar seakan membisikkan sebuah kalimat. Tak tau mengapa, hatinya
sakit dan menitikkan air mata. Dia pun sadar, ternyata mata itu adalah mata
lelaki yang membuatnya pertama kali mengenal rasa cinta. Kisah itu terjadi lima
tahun yang lalu.
Berawal dari
pertemuan itu, dia mulai merasakan cinta yang lama dia tidak rasakan. Walaupun
sebenarnya, tidak pernah ada hubungan apa-apa antara dia dengan lelaki itu,
namun rasa cinta yang selama ini dia pendam, kembali tumbuh. Bagaikan bunga
mawar yang kembali mekar di atas penderitaan hidup.
Rasa
penasarannya sangat tinggi kepada lelaki yang ditatapnya di taman. Di luar
aktivitasnya sebagai seorang mahasiswi, dia mendapatkan tugas baru yang harus
dipecahkannya, yaitu mencari tau tentang lelaki yang dia lihat waktu itu. Tak
sedikit waktu yang dia luangkan untuk aktivitas barunya ini.
Hasil yang
didapat membuatnya kegirangan. Di tengah pengejar ilmu lainnya, dia berjalan
sambil mencari buku di perpustakaan umum di kampusnya. Dia duduk dan membaca
buku seorang diri di meja yang besar kala itu. Maklumlah, suasana perpustakaan pagi
hari itu masih sepi oleh pengunjung. Suasana sunyi itu membuatnya sangat serius
membaca buku. Namun, beberapa selang waktu tak lama berdiam diri dengan buku
bacaannya, hatinya terasa sakit dan matanya berkaca-kaca. Dia tak mengerti apa
yang terjadi dengan dirinya.
Dia pun
meletakkan buku di meja sambil melihat disekelilingnya. Bukan hayalan atau
sebuah mimpi. Dia mencubit tangannya untuk memastikan dia dalam alam nyata.
Ternyata yang membuatnya merasa aneh adalah adanya lelaki yang duduk di
dekatnya. Dengan rasa yang tak karuan, dia kembali memegang buku dan berusaha
berkonsentrasi kembali.
Tak hayal,
lelaki itu mengajaknya bicara. Dengan suasana hati yang tak dia mengerti, dia
memandang lelaki itu dan mengajak lelaki itu bicara. Suasana hangat pun
tercipta dengan sendirinya. Setelah lama bercanda gurau dengan
perbincangan-perbincangan yang menghangatkan suasana, lelaki itu baru menyadari
ternyata Risa adalah teman sekolahnya di SMP dulu.
Dion adalah nama
akrab dari lelaki itu. Dia adalah salah satu mahasiswa di Fakultas Teknik. Mereka
tak menyangka bisa bertemu lagi dalam suasana baru yaitu di bangku kuliah yang
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menggelar status sebagai mahasiswa
setelah lulus di bangku SMP.
Sosok Risa yang
ada dihadapan Dion sekarang ini sangat berbeda sekali dengan gadis kecil yang dikenalnya
dulu. Gadis itu sekarang sudah mangenakan jilbab rapi. Manis sekali.
Rasa-rasanya Dion telah jatuh cinta pada Risa saat pertama kali bertemu dengan
Risa.
Dia tak
menyangka kalau perempuan yang ditemuinya itu adalah sosok gadis kecil yang dekil
dan lugu di zamannya. Namun, baginya sejarah tak mungkin berulang. Sosok itu
sudah berubah menjadi gadis dewasa.
Pertemuan mereka
seakan-akan telah melupakan aktivitas lainnya. Mereka tak menyadari ternyata
waktu berputar sangat cepat. Pukul 13.00 menunjukkan waktu sholat dhuhur. Tak
ingin membiarkan pertemuannya hanya berakhir sampai disitu, merekapun bertukar
nomor handphone.
Sambil berjalan
meninggalkan perpustakaan, langkah mereka menuju pada mushollah tak jauh dari
perpustakaan itu. Disinilah pertemuan hari itu diakhiri. “sampai ketemu di lain
waktu”, kata Dion kepada Risa saat mengakhiri pertemuannya.
Sebelum masuk
kembali ke fakultasnya untuk mengikuti kuliah, baik Risa maupun Dion, melaksanakan
kewajibannya sebagai umat beragama.
Di tengah
perjalannya ke ruangan kuliah yang jaraknya lumayan jauh dari perpustakaan,
Risa tampak bahagia. Hal ini terlihat saat dia senyum-senyum sendiri. Nampaknya
hatinya sedang merasakan roman-roman cinta.
Dalam kegamangan
dan putus asa menghadapi kerasnya kehidupan sebagai perantau, Risa menemukan
cahaya yang menerangi jalannya. Cahaya itu ditemukannya setelah bertemu dengan
Dion.
Sesampainya di
ruangan kuliah, Risa memperlihatkan raut wajah yang berbeda kepada
teman-temannya. Merasa aneh dengan sikap Risa saat itu, Ina dan beberapa teman
dekatnya berkata, “sepertinya ada yang beda dari seorang Risa!!!”, dengan
sebuah senyuman manis yang dilontarkan Risa, sebuah artian yang bisa
membahasakan suasana hatinya saat itu.
Perputaran waktu
hari itu terasa sangat cepat. Aktivitas kuliah pun telah berakhir. Sebelum
pulang ke rumah, Risa dan teman-temannya mengerjakan laporan praktikum secara
berkelompok. Setelah itu, barulah mereka kembali ke rumah atapun pondokan
masing-masing.
Di atas angkot
dalam perjalanannya pulang, Risa kembali memikirkan Dion yang ditemuinya di perpustakaan
tadi. Dia masih saja sulit untuk mempercayai pertemuan itu. Belum juga
menghitung hari setelah bertemu dengan Dion, Risa langsung merasakan kerinduan
mendalam.
Malam hari yang
dingin, ketika sebagian besar orang meringkuk di dalam selimut hangat mereka,
tampak seorang Risa sedang larut dalam kerinduan dan kebahagiaan. Dia berusaha
membuka kotak yang berisi beberapa album foto lama yang dia miliki. Dia mencari
foto seorang Dion yang masih dia simpan sejak SMP. Diapun menemukan selembar
foto yang sudah terlihat kusam yang dia cari. Rasa rindunya pun sedikit
terobati setelah melihat fotonya bersama Dion.
Cengiran di wajah
Risa sesekali terlihat kala melihat foto yang dipegangnya. Refleks, Risa lalu
membuka jendela kamarnya ditengah dinginnya malam. Dia lalu menengok keluar
jendela dan menatap langit yang penuh dengan kilauan bintang. Seakan-akan dia
sedang menatap wajah seorang Dion sembari mengucapkan “selamat malam”.
Belum menutup
jendela kamarnya, Risa lalu duduk di meja belajar dan mengambil buku diarinya
serta sebuah pena. Mengadu kepada sebuah buku bisu, dan merangkai sebuah
kalimat yang mewakili suasana hatinya saat itu, merupakan aktivitasnya sebelum
tidur.
Ditempat yang berbeda, jauh dari tempat tinggal Risa.
Tampak seorang Dion sedang resah memikirkan pertemuannya dengan Risa siang itu.
Entah kenapa, perasaannya tak bisa dikontrol saat bertemu dengan Risa. Tak
dapat memejamkan matanya, padahal sudah larut malam. Pikirannya selalu tertuju
pada sosok Risa.
Deringan jam
weker menunjukkan pukul 05.00 pagi. Waktu sholat subuh tiba. Risa pun membuka
mata. Dia merasa kelopak matanya menempel lekat sehingga susah untuk dibuka
lagi. Dia mendengar suara deringan handphonenya. Matanya langsung membulat
penuh dan kesadarannya pulih seketika saat melihat nama pemanggil di
handphonenya.
Ternyata Dion
yang menelponnya. Melalui telpon, Dion berbicara dan berusaha mengingatkan Risa
untuk segera bangun melaksanakan sholat subuh. Tampak raut wajah seorang Risa
yang sangat bahagia. Bagaimana tidak, harinya dimulai dengan suara yang memberi
nasehat dari pujaan hatinya.
Risa berdesis
kagum dengan sikap Dion saat itu. Dalam via telepon, Dion menawarkan diri
menjemput Risa di rumahnya. Dengan rasa malu, Risa pun mengiyakan tawaran Dion.
Sang surya sudah
indah menatap dunia. Waktunya Risa berangkat ke kampus. Sambil menunggu
kedatangan Dion, dia menatap wajahnya sembari bersolek menyapu wajahnya yang polos
tanpa make up sedikit pun.
Tak lama, diluar
sana terdengar suara raungan gas mobil. Dengan rasa penasaran, Risa mengintip
keluar.
Risa melongok saat melihat Dion membuka
pintu mobilnya.
Keluar dari
kamar dan segera menghampiri Dion yang kedatangannya sudah lama dinanti.
“hai…!!!” Risa menyapa Dion dengan malu.
“silahkan duduk…tunggu bentar ya…”
Dengan senyuman khasnya, Dion menganguk
dan segera duduk di sofa empuk di ruang tamu.
Dion senyum
seketika ketika tahu ternyata Risa masuk untuk mengambilkan secangkir teh
hangat untuknya.
“silahkan diminum” kata Risa sambil
meletakkan secangkir teh di meja.
Sambil
meyeduh teh, Dion berbasa-basi. Dan pembicaraan mengenang masa SMP itu kembali
berlanjut, mendominasi sebagian pembicaraannya selama menemani Dion menyeduh
tehnya.
Tak
lagi menyebut namanya. Dion segera beranjak dari tempatnya dan mengajak Risa
untuk segera berangkat.
“cantik…waktunya berangkat ke kampus”
Refleks Dion mengeluarkan kata itu.
Maklumlah, hari itu Risa memang kelihatan sangat cantik.
Mendengar
Dion, Risa tersenyum menyembunyikan wajahnya yang sudah berubah warna.
Hidungnya mekar, kembang kempis menahan rasa malu dan gembira yang meluap dari
dalam hatinya.
Dilain sisi,
Dion segera membuka pintu mobilnya untuk Risa. Senyum yang tidak biasa
ditunjukkan oleh keduanya.
Di dalam mobil,
kembali tercipta suasana romentisme karena alunan lagu. Namun, Risa menyadarkan
diri kalau yang diharapnya tidak mungkin terjadi.
“kesibukan Risa sekarang apa???” Dion,
membuka pembicaraan dengan pertanyaan.
“seperti sekarang, hanya kuliah, kerja
tugas….cuma itu kok!!!!selebihnya Cuma bumbu yang bersifat relatif”. “kalau
kamu??” kata Risa membalas pertanyaan Dion. “ya biasalah….mahasiswa. kurang
lebih seperti kamulah” kata Dion. Pembicaraan itu tak berlangsung lama.
Suara deringan
handphone Dion memaksanya untuk menghentikan pembicaraan sejenak.
“halo…knapa??” kata Dion menghentikan deringan telponnya. “lagi dimana
sekarang???” kalimat itu sontak terucap dengan kemesraan. Ternyata yang
menelpon Dion saat itu adalah Jasmin, kekasihnya. Dengan lembut dan penuh rasa
hormat kepada Risa, Dion tak mengeluarkan kata-kata mesra dan menjawab “lagi di perjalanan ke kampus”.
Karena tak mau berlama-lama, Dion pun segera mengakhiri pembicaraannya dengan
Jasmin.
Suasana tegang
kembali terasa. Risa lalu memecingkan matanya heran. Wajah Dion seketika
berubah setelah menerima telepon. “telepon dari siapa??” tanya Risa heran melihat perubahan raut wajah Dion. Tidak
ingin ada kebohongan, Dion menjawab ‘dari Jasmin, pacarku…”.
Mendengar ucapan
Dion, wajah Risa yang sebelumnya berseri, sentak berubah. Menahan nafas sebelum
berbatuk-batuk, tidak bisa lagi bernafas lega. Risa menatap kesal ke arah Dion.
Hatinya sakit, pedih dan teriris oleh kata-kata
Dion.
Merasa bersalah
dengan Risa. Dion menelan ludah gugup. Tentu dia tidak bisa menjelaskan
alasannya mengapa dia memberi harapan kepada Risa sementara dia masih mempunyai
hubungan dengan Jasmin.
Alasan sederhana
sebenarnya. Risa seorang gadis yang dia kenal lama. Manis. Berjilbab. Mempunyai
tatapan teduh. Menjaga diri. Pintar dan pengertian. Selain itu, Dion juga
menganggap Risa sebagai adik perempuannya.
Tak ada lagi
kata atau suara yang terdengar kecuali suara musik di dalam mobil serta raungan
gas kendaraan di sepanjang jalan. Baik Risa dan Dion merasa bersalah dengan
keadaan saat itu.
Sesampainya di
kampus. Tak panjang kata yang Risa ucapkan saat turun dari mobil. “makasih…”.
Menutup pintu mobil dan langsung berjalan ke arah kampusnya.
Tak ada lagi
senyum yang dia tampakkan. Dia merasa cintanya bertepuk sebelah tangan.
Penantiannya membuatnya lebih sakit dari sebelumnya. Kemarahannya tersulut
ketika mendapat olokan dari temannya di perjalanan menuju kelas.
Di sisi lain. Di
dalam mobil, Dion meraung geram. Dia mengibaskan kepalanya ke sandaran kursi.
Bukan menyesali perasaannya yang tumbuh kepada Risa. Tapi, menyesali waktu yang
baru menyadarkanya.
Sungguh perih
rasanya jika orang dicintai sudah punya tambatan hati. Inilah yang dirasakan
seorang Risa.
Kejenuhannya
hari itu membuat waktu berlalu terasa lama. Sedangkan dia tak bisa
menghindarkan pikirannya dari seorang Dion. “Baru juga merasakan kebahagiaan
sehari, kejadiaannya sudah seperti ini” kata Risa dalam benaknya.
Saat beranjak
dari kendaraannya, Dion tak berhenti menyesali kejadian saat itu. Bingung
dengan apa yang harus dia lakukan. Di satu sisi, dia tak ingin menyakiti
Jasmin. Tapi, di sisi lain rasa cintanya begitu besar kepada Risa. Dilema cinta
pun dia rasakan.
Langkah kakinya
tak pasti. Dengan menggendong ranselnya, dia mengambil telepon genggam yang
tengah berdering. Telepon dari Jasmin. Dion pun segera mengangkatnya. Singkat
cerita. Dalam pembicaraannya, Jasmin ingin bertemu dengan Dion siang itu. Tapi,
karena masih dilema dengan perasaannya, Dion mengarang cerita sebagai alasan
untuk menolak pertemuan itu.
Jasmin yang
tidak tau menahu dengan apa yang sebenarnya terjadi, diapun tidak memaksa.
Walaupun hasratnya sangat besar untuk bertemu sang kekasih.
Cerita ini
berlanjut hingga beberapa hari. Risa dan Dion tidak pernah bertemu lagi. Begitu
pula dengan Jasmin dan Dion.
Memikirkan
kesulitan hidupnya, Risa tak pernah lalai untuk melaksanakan ibadah. Dia selalu
berdo’a dan berserah diri kepada-Nya. Itulah yang menjadi pegangannya setiap
saat.
Seperti itulah
dia. Diam-diam mencintai lelaki dengan sangat dan menyimpan sakit tak berperi
saat harus mengetahui bahwa orang yang selama ini disanjungnya, telah menjadi
milik orang lain. Sedikit pun dia tak berniat menyesali atau berhenti mencintai
lelaki itu.
Merasa ada yang
berbeda dari kekasihnya, Jasmin tak berdiam diri. Dia berusaha menghubungi Dion
yang akhir-akhir ini sulit untuk dihubungi. Diwaktu yang bersamaan, Dion juga
berusaha menghubungi Risa yang sudah beberapa hari menghilang.
Untuk kesekian
kalinya, Dion gagal. Namun, itu tak mengurungkan niatnya untuk tetap ingin
bertemu dengan Risa. Risa tak pernah mau mengangkat deringan handphone dari
Dion. Hatinya masih saja keras bagaikan batu karang terhempas ombak.
Kekerasan hati
Dion ternyata tak sekeras hati Risa. Jasmin berhasil menggoyahkan kekuatan hati
seorang Dion. Dion pun memenuhi permintaan kekasihnya. Tapi, entah apa yang dia
pikirkannya sehingga mau bertemu dengan Jasmin.
Jasmin berada
pada pilihan yang sangat sulit. Saking kesalnya saat berhadapan dengan Dion
yang tak lagi seperti sediakalanya.
Antara ingin
bertanya lebih lanjut pada Dion atau meninggalkan tempat itu, membuat Jasmin
termangu. Lalu dengan muka kesal, dia melangkah ke arah toilet tempat dia dan
Dion bertemu. Pikirannya kacau sekarang. “Dion suka kepada seseorang. Siapa??
Kenapa dia merahasiakannya dariku?” muncul pikiran negatif dalam dirinya.
Saat Jasmin ke
toilet, Dion mulai berfikir tentang tindakan yang harus dia ambil. Sembari
memainkan handphonenya di atas meja, dia memutar otaknya untuk membuat suatu
keputusan yang tidak merugikan dirinya dan orang lain. Suatu yang sama juga
telah dipikirkan seorang Jasmin yang tak tahan lagi dengan sikap Dion
akhir-akhir ini. Pemikiran yang sangat dewasa.
Tak tahu apa yang
terjadi, sentak senyuman Dion terpancar saat melihat kedatangan sang kekasih.
Dengan kedewasaannya, mereka memulai pembicaraan.
“saya minta maaf atas sikapku
akhir-akhir ini. Mungkin kamu terlanjur marah dan kesal dengan sikapku.
Sebenarnya saat ini saya tengah berada dalam masalah yang sangat menyayat hati.
Tak bisa lagi ku ungkapkan dalam kata. Terlalu sakit untuk diingat namun akan
lebih sakit lagi jika dipendam. Penyesalan memang datangnya di belakangan.
Namun, saya berusaha untuk tidak menyesal. Ini hanya masalah waktu. Sekali lagi
saya minta maaf. Saya tak tau lagi bagaimana harus menghadapi semuanya.
Terserah dari kamu. Masih ingin mempertahankan hubungan ini atau tidak. Tapi,
kalau saya pribadi sebenarnya sudah berada di ujung tanduk.” Kata Dion panjang
lebar.
Heran mendengar
ucapan Dion. Jasmin kembali bertanya, “maksud dari ucapan kamu apa???”. Tanpa
ada yang disembunyikan sedikit pun, Dion berusaha untuk jujur sejujur-jujurnya.
“beberapa hari yang lalu, saya bertemu
dengan teman SMP saya. Sebenarnya permasalahannya bukan itu. Tapi, entah
mengapa saat pertama bertemu dengannya, saya merasakan adanya suatu getaran.
Sebelumnya saya bingung, kenapa ini terjadi. Akhirnya saya tahu ternyata saya
memendam rasa cinta terhadap orang itu”.
Dion merasa
sangat bersalah kepada Jasmin. Dia takut menyakiti hati Jasmin. Tapi apa boleh
buat, nasi sudah menjadi bubur. Refleks. Air mata wanita yang ada di depannya
itu mengalir tanpa henti. Saat itu, Dion merasa sangat bersalah.
Kata maaf tak
henti-hentinya dilontarkan oleh Dion. Berusaha menghibur Jasmin dengan mengusap
air matanya.
Sungguh di luar
dugaan. Bukan sedih karena harus melepaskan Dion untuk mencintai orang lain.
Namun, dia menangis karena kejujuran dari seorang Dion. Diapun angkat bicara
setelah tangisannya sedikit reda.
“sebenarnya hal ini sudah lama ingin
saya katakan. Namun, keterbatasan komunikasi membuatku sulit untuk berbicara
jujur. Di luar dari masalah yang membuatmu risau, sebenarnya saya menghadapi
masalah yang lebih berat. Saya menyadari hal ini tak akan selesai jika tidak
ada kejujuran. Kali ini saya berusaha untuk berbicara jujur”.
Dion tercengang
mendengar ucapan Jasmin. Lanjut cerita…
“selama ini saya sudah mendua. Tak tahu
apa yang membuatku tega berbuat ini. Tapi saya benar-benar minta maaf.”
Hentak suasana
menjadi hening di akhir pembicaraan Jasmin. Dion tak menyangka hal itu terjadi
padanya. Kesal, marah dan benci menjadi satu. Mereka jadi saling melemparkan
pertanyaan. Untuk semenit, mereka gencatan senjata.
“saya berusaha keras untuk tidak
membuatmu sakit. Namun, sangat di luar dugaan. Di luar sana kamu juga menjalin
hubungan dengan yang lain.” Dion melepaskan kekesalannya.
Diluar
permasalahan pasangan kekasih. Di dalam kamarnya, Risa nampak begitu murung.
Memang tidak mudah untuk melepaskan seseorang yang dicintai. Tidak mudah pula
menyingkirkan kenangan dengan orang itu. Hampir semalaman Risa berkutat dengan
foto dan buku hariannya. Rasa sayang membelenggu di hati wanita ini.
Masalah terus
bergulir antara Dion dan Jasmin. Tak ada yang ingin mengalah. Mereka berusaha
mempertahankan ego masing-masing. Hingga pada akhirnya, Dion disadarkan untuk
segera mengambil keputusan. “Demi kepentingan bersama, kiranya hubungan ini
tidak usah dilanjutkan kembali. Walaupun sebenarnya ini bukan keputusan awal
yang ingin saya ambil. Tapi, mendengar kata-katamu tadi, saya sadar kalau
hubungan ini memang harus diakhiri secepatnya.” Kata Dion dengan kedewasaannya.
Tak ingin
berlama-lama, Jasmin pun mengiyakan keputusan Dion. “jadi, mulai saat ini kita
tidak ada hubungan apa-apa lagi selain teman”, katanya mempertegas keputusan
itu. Sesaat setelah itu, Dion pun mengajak Jasmin pulang dan segera
mengantarkannya pulang ke rumah.
Setelah kejadian
itu, Dion merasa sedikit tertolong. Beban batin yang dirangkulnya sedikit
berkurang. Berusaha untuk menghubungi Risa adalah jurnal pertamanya.
Yang namanya
batu, memang sangat sulit untuk dipecahkan. Butuh waktu lama dan tenaga yang
kuat. Namun, Dion tak pernah berniat untuk mengusungkan niatnya. Magnet
cintanya sudah sangat kuat.
Risa yang saat
itu tak bisa lagi memendam beban hidupnya, memutuskan untuk membuka diri dengan
teman-temannya. Segudang masalah telah memenuhi hati dan pikirannya. Tidak itu
masalah kuliah, tugas, masalah orang rumah, ditambah lagi masalah perasaannya
dengan Dion. Diapun mencurahkan isi hatinya kepada teman dekatnya, Ina.
“Terus terang
saja, aku sudah lama memendam rasa dengannya. Tapi, saat ini kukurungkan niatku
karena aku tau kalau dia sudah mempunyai kekasih.” Ina tak mengeri apa yang
diucapakan Risa. Pembicaan mengalir seperti air, hingga Ina betul-betul
mengerti permasalahan yang dihadapi temannya saat ini.
“jadi benar, saat ini kamu sedang jatuh
cinta?”
Kali ini, Risa
tersenyum. Senyum yang sulit ditebak maksudnya. Antara jawaban ya atau tidak.
“Seharusnya kamu cari tahu siapa orang yang benar-benar dicintainya saat ini”,
kata Ina mamberi nasehat.
Usahanya untuk
terus mencari keberadaan Risa saat ini terus berlanjut. Capek mengirimkan pesan
via SMS yang tidak pernah ada balasannya. Telepon yang tak pernah direspon,
membuat Dion mengambil cara lain. Dia memutuskan untuk mencari Risa di kampus
keesokan harinya.
Butuh waktu
beberapa jam untuk melihat sinar
matahari pagi. Ketika saat itu datang, Dion tak menyia-nyiakan keadaan.
Segera bangun dan bersiap melaksanakan tugasnya sebagai seorang mahasiswa.
Namun sebelumnya, dia ke kampus Risa untuk mencari informasi tentang keberadaan
Risa.
Raungan gas
mobilnya seketika membawanya ke lokasi kampus Risa. Membuang rasa malu.
Pertanyaan demi pertanyaan dia berikan kepada setiap orang yang ditemuinya saat
itu. Singkat cerita. Saat bertanya tenang keberadaan Risa, sepintas berjalan,
Ina mendengarkan suara yang menyebut nama Risa.
Dengan
keyakinan, Ina pun menghampiri Dion yang sedang berpusing-pusing ria mencari
Risa. “maaf, kalau nggak salah, tadi anda mencari dan menyebut-nyeut nama Risa
ya?”. Ina mendekat.”iya…, anda kenal dengan Risa ya?” kata Dion menjawab
pertanyaan Ina.
“perkenalkan, nama saya Ina…teman
dekatnya Risa” kata Ina memperkenalkan diri.
Tidak
menyia-nyiakan kesempatan. Dion pun menceritakan permasalahannya saat ini.
Dengan pembicaraan singkat, Ina pun mengerti dan menceritakan semuanya kepada
Dion tentang perasaan Risa saat ini.
“dia pernah bilang, ada seorang
pria yang sangat menyebalkan. Namun, di luar itu semua, dia sangat m,encintai
lelaki itu, kuduga itu kamu. Dia menceritakannya dengan raut wajah kesedihan.
Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi diantara kalian berdua. Tapi,
dari raut wajahnya, Risa memanng terlihat sangat sedih.”
Mendengar cerita
Ina, semangat Dion untuk mencari dan bertemu dengan Risa semakin besar.
Diluar dugaan.
Hari itu, Risa sama sekali tidak menampakkan wajahnya di kampus. Tidak masuk
sehari saja, teman dan dosennya sudah mengira yang tidak-tidak. Padahal waktu
itu Risa sedang meringkuk kesakitan di kamarnya. Dia tak bisa bangun.
Entah apa yang
membuatnya seperti itu? Masih belum bisa melupakan rasa kekesalannya dengan
Dion. Dalam benaknya dia berkata, ”bukankan memang begini cinta seharusnya?
Memberikan senyum untuk dia yang kita cinta meski diam-diam menumpuk sedih
sangat sangat banyak di dalam hati. Aku yakin, seperti itulah cinta.”
Tak dapat
dihitung berapa jam, berapa pagi, siang dan malam yang harus dihabiskan Risa
untuk menangis menyesali pertemuannya dengan Dion. Hanya kegelapan, bintang,
pena dan buku diari yang menjadi saksi bisu kesedihan yang tengah ia rasakan
saat ini.
Keesokan
harinya, Dion kembali ke kampus Risa. Berharap hari itu akan terjadi pertemuan
antara mereka. Namun, apa yang dia dapat? Kegagalan yang kesekian kalinya ada
di depan mata.
Dia kembali
bertemu dengan Ina. Sebelum bertanya tentang kehadiran Risa di kampus hari ini,
Ina telah mendahuluinya dengan memberikan informasi baru tentang Risa. “tadi
pagi saya diinfokan oleh keluarga Risa kalau kemarin Risa dirujuk ke rumah
sakit yang tak jauh dari rumahnya”. Dion terkejut. Tanpa satu pun kata yang
tersirat dari bibirnya, dia lalu pergi dan tancap gas mobil entah kemana arah
dan tujuannya.
Diluar dugaan.
Bukannya ke rumah sakit menjenguk Risa, Dion malah tancap gas menuju kediaman
Jasmin. Sungguh tindakakn yang menyayat hati. Bukan apa-apa. Hanya sekedar
ingin meyakinkan dirinya kalau ternyata dia betul-betul sudah putus dari
Jasmin.
Hanya untuk
mendapatkan sebuah kepastian, Dion rela menunggu Jasmin hingga beberapa jam.
Niat untuk menemui Jasmin tidak terbantahkan. Masalah baru datang setelah
kedatangan Jasmin.
Dia tidak
menyangka ternyata orang ketiga dalam hubungannya dengan Jasmin adalah Fadli,
teman dekatnya. “dasar penghiyanat” katanya dalam hati. Saat itu Jasmin
terlihat ketakutan saat melihat Dion di beranda rumahnya. Maklumlah saat itu
dia datang bermesra-mesraan dengan Fadli.
Gemuruh di dalam
hati Dion semakin keras terdengar. Dia tidak harus berkata apa pun. Dia tidak
berhak menghakimi Jasmin dan Fadli. Dia sudah melakukan apa yang dia bisa untuk
menghindari hal seperti ini. Dia sudah berniat melupakan Jasmin.
Tak mengucapkan apa
pun. Kemarahannya merasuk, menggantikan kepedihannya. Dion bangkit dari kursi
dan melangkah pergi.
Jauh di dalam
lubuk hatinya. Dia memikirkan keadaan Risa yang terbaring lemah di rumah sakit.
Kerinduannya dengan Risa membawanya sekejap ke dalam hayalan. Seandainya waktu
bisa berputar, rasanya aku ingin mengulang kisah indah bersama Risa.
Di sebuah kamar
dengan suasana haru. Risa dalam ketidakberdayaan, tetep saja memikirkan Dion
yang tak menampakkan batang hidungnya. Dia sangat merindukan sosok Dion. Dia
berusaha menyembunyikan perasaannya. Namun, tanpa dia sadari ternyata Dion
mengetahui hal itu.
Senja itu telah
berganti malam. Menutup kerinduan hati
yang lela. “dimana Dion saat ini?” benaknya berbicara. Kesendirian di kamar itu
membuatnya takut.
Kaget. Suara ketukan
pintu tiba-tiba saja terdengar. Rasa takut, membuatnya menangis. Bukan suster
ataupun dokter yang datang. Dengan samar-samar. Dia melihat sosok pria dengan
pakaian rapi namun tetap trendi. Belum sempat melihat wajah orang itu. Risa lau
berbalik badan berusaha menghindarkan pandangannya dari orang itu.
“Risa….”, suara itu nyaring.
Mendengar ada
yang menyebut namanya, Risa berbalik badan dan memandang orang yang
memanggilnya. Diluar dugaan, orang itulah adalah Dion.
“kenapa kamu menangis?” kata Dion saat
menatap wajah Risa.
Risa hanya bisa
memandang wajah Dion tanpa mengucapkan apa-apa. perasaanya saat itu tak bisa
diwakili dengan kata-kata. Hanya senyuman manja yang diperlihatkannya di balik
air mata.
Tak melihat
seorang pun yang menjaga Risa malam itu, Dion pun memutuskan untuk menemani
Risa malam itu. Seperti orang biasa bagi Risa. Dion menunjukkan rasa pedulinya.
“bagaimana perasaanmu sekarang? Apa lebih mendingan?” pertanyaan itu terucap
sembari mengambil segelas susu di atas meja.
Belum menjawab
pertanyaan Dion. Risa lalu meminum susu yang diberikan oleh Dion. Tentunya Dion
membantu memegang gelas. Kemudian, Dion mengambil sebuah apel dan mengupasnya.
Duduk disamping ranjang tempat Risa berbaring.
Hentak. Risa
angkat bicara walau sebenarnya masih sulit. “makasih sudah datang. Dapat info
dari mana kalau saya sedang terbaring sakit disini? Padahal sekalipun saya tak
pernah mengangkat ataupun membalas SMS kamu. Saya minta maaf karena
merepotkan.” Pandangannya tak pernah lepas dari wajah Dion. Ditengah kesunyian
malam itu, tercipta suasana hangat.
Dion pun
menjawab pertanyaan Risa. “saya mendapatkan informasi dari Ina, teman kamu.
Waktu itu, saya memutuskan untuk mencari kamu di kampus. Ku lakukan itu karena
saya tak tahu lagi bagaimana caranya bisa bertemu dengan kamu. Telpon nggak
diangkat, SMS nggak dib alas. Jadi kuputuuskan untuk mencarimu. Tapi, bukan
yang kuharap yang kudapatkan. Selama dua hari berturut-turut, tapi sekali pun
bertemu dengan kamu. Hingga akhirnya saya bertemu dengan Ina. Dia menceritakan
semua yang terjadi denganmu. Saya pun memutuskan untuk datang kesini.”
“Jadi, kamu sudah tahu semuanya???”
tanya Risa dengan suara lemah. “iya…saya sudah tahu semuanya. Tentang kamu,
tentang perasaanmu, tentang kehidupanmu serta penantian cintamu selama ini”.
Dion menjawabnya sambil menyuap Risa dengan buah sudah di kupasnya.
Rasa sakit,
malu, kesal, bahagia menjadi satu dalam hati dan raga Risa saat itu. Berusaha
mengalihkan pembicaraan. Risa yang tak tahu permasalahan yang tengah dihadapi
Dion, menanyakan keadaan Jasmin yang sebenarnya sudah menyandang status sebagai
mantan Dion dua hari yang lalu.
“Dia baik-baik
saja”. Hanya itu yang dikatakan oleh Dion. Menyambung pembicaraan, Risaa
kembali melontarkan pertanyaan seputar Jasmin. Walaupun sebenarnya membicarakan
hal itu sangat menyakitkan baginya.
“sejak kapan kamu berpacaran dengan
Jasmin? Pasti dia itu cantik, pintar, dan sangat sayang sama kamu? Iya
kan….cieeeee…!!!!” kata Jasmin panjang lebar.
Tidak ingin
membicaran Jasmin lagi. Apalagi membicarakannya kepada Risa yang sedang
terbaring sakit, Dion pun berdiri dan berjalan kearah jendela kamar. Sementera
di ranjang, mata Risa selalu mengarah kepada Dion.
“malam yang
begitu indah. bulat terlihat sempurna. Bintang bertabur dimana-mana. Rasanya ingin
memetik satu bintang untuk orang tercinta”. Mendengar ucapan Dion, hati Risa
terasa sakit. Dipikirannya, orang yang dimaksud Dion adalah Jasmin. Padahal itu
salah besar.
Seketika Dion
balik melihat Risa yang kelihatannya sangat kesal dan jenuh. Diapun melangkah
pelan ke arah Risa. “mau tengok keluar?”, ajak Dion. Merenung. Tak lama,
terdengar suara Risa yang mengiyakan ajakan Dion.
Segera mingkin,
Dion menarik kursi roda yang berda tak jauh dari pintu kamar. Dia pun membantu
Risa untuk bangun dan memapahnya ke kursi roda. Agak kesakitan. Namun, sekejap
hilang Dion mendorongnya ke dekat jendela.
Hening.
Sesekali
terbesit senyum manis Risa saat melihat langit. Rita tak pernah merasakan
kebagaiaan seperti malam itu sebalumnya. Bersama orang yang dicintainya, dia
menikmati malam di bawah kilauan bulan dan bintang.
Memegang kedua
pundak Risa. Dion berbisik halus dan mengatakan. “lihat bintang itu. Sinarnya
sangat terang dibanding yang lainnya. Seandainya saat ini bintang itu jatuh,
aku akan berdo’a semoga aku mendapatkan pendamping hidup yang sangat aku
cintai.”
Mendengar, hal
itu, suasana hati Risa mulai terbakar api cemburu. Kesal. Dia berusaha
menggerakkan tangannya dan memindahkan rangan Dion yang ada dipundaknya. Sadar
diri. Dion tetap belum mau menceritakan
yang sebenarnya kepada Risa.
Berusaha
menghibur Risa yang kelihatannya sangat kesal.
“sudah larut
malam. Saatnya untuk kembali beristirahat”, kata Dion sambil mendorong kursi
roda ke arah tempat tidur. Sesampainya di dekat peristirahatan, Dion pun mengangkat
Risa sekuat tenaga ke atas tempat tidur. Walau sedikit berat, itu tidak membuat
Dion menyerah. Rasa cintanya kepada Risa lebih kuat dibanding apapun.
Saat itu, Risa
merasa sangat nyaman. Dia memejamkan matanya sembari meraskan kehangatan cinta
yang dalam dari seorang Dion.
Tiba di atas pembarinagnnya.
Dian segera
menutupi tubuh lemah Risa dengan selimut hangat. Duduk di samping Risa. Dion,
memegang lembut tangan Risa. Mengusap kepala Risa yang saat itu berusaha keras
memjamkan matanya.
Bahagia, terharu,
kehangatan, kesakitan, dan ketakutan yang dirasakan Risa malam itu. Bagaimana
tidak? Disatu sisi orang yang ada di samping adalah orang yang sangat dia
cintai. Disisi lain, orang yang ada di sampingnya adalah kekasih orang lain.
Itulah yang dia pikirkan sepanjang malam itu.
Di luar semua
itu. Terlihat suasana yang sangat bahagia di malam yang sunyi sengap. Hanya
cahaya bulan dan bintang yang dijadikan penerang. Hanya kehangatan yang dirasakannya.
Suasana hening.
Cahaya bulan dan
bintang, sesaat menjadi cahaya matahari. Tak sadar, Dion tidur dalam posisi
duduk dan menyandarkan kepalanya di dekat kepala Risa. Sinarnya yang terang
membuat mata perih. Berusaha membuka mata yang menempel. Risa tersadar. Dia
melihat Dion yang masih tidur pulas di dekatnya.
Dengan rasa
cinta. Sontak. Dia mengusap rambut Dion.
Merasakan
sesuatu yang aneh dikepalanya, dia pun terbangun. Tak sempat melepaskan
usapannya, Dion mengarahkan tangannya ke kepala. Diluar dugaannya, dia memegang
tangan Risa yang masih mengusap kepalanya. Saat itulah Dion menyadari kalau
ternyata Risa benar-benar mencintainya.
Mereka terdiam.
Suasana hening. Sambil memegang tangan Risa, Dion hanya menatapnya lekat-lekat.
Risa mangalihkan pandangannya saat teringat Jasmin. Risa tersenyum sembari
memecahkan lingkaran udara aneh diantara mereka.”maaf!!” kata itu terucap
bersamaan.
Tak lama setelah
itu, keluarga tempat Risa menumpang datang. Tidak semuanya. Hanya salah seorang
tante dan neneknya. “bagaimana keadaanmu sekarang? Siapa orang ini?” kata
neneknya dengan pandangan sinis dan penuh kecurigaan. “perkenalkan, nama saya
Dion…saya teman kampus Risa yang sekaligus teman sekolahnya di SMP dulu”, kata
Dion dengan santai.
Risa
menambahkan. “ini teman saya, dia yang menemani saya semalaman disini.
Sebenarnya niatnya hanya untuk menjenguk sebentar, tapi karena melihat saya
sendiri, dia memutuskan untuk menemani saya”. Risa menjelaskan panjang lebar.
“sepertinya
sudah ada yang menemani kamu sekarang. Saya permisi pulang. Ada kuliah pagi”.
Dion bergegas mengambil tasnya yang da di sofa. “mari tante…”, kata terakhir
yang diucapkan Dion sebelum keluar kamar rumah sakit itu.
Tak ada kalimat
special yang diucapkan Dion kepada Risa. Tapi, tatapan matanya membisikkan
segudang artian. Entah apa maksud dari tatapannya. Hanya Risa yang mengerti
itu.
Kepergian Dion
membawa bahaya bagi Risa. Keadaannya yang masih lemah, tak mengurungkan
kemarahan neneknya. Caci maki diterimanya. Tak sanggup menahan sakit, dia pun
berderai air mata.
Sudah semalaman
di rumah sakit, ibu Risa tak kunjung datang. Tak tahu alasan pasti. Namun, Risa
sangat mengharapkan kedatangan orang tuanya. Dengan rasa kasian, tantenya
mangambil makanan untuk Risa. Tapi, yang namanya orang sakit, pasti tidak bisa
untuk makan banyak. Apalagi suasana hatinya saat itu kurang baik karena baru
saja mendapatkan caci makian.
Jangankan makan,
menelan ludah saja dilakukannya dengan susah payah dengan keadaannya saat itu.
Di tambah lagi obat yang baru saja diantarkan oleh suster. “keadaannya sudah
agak mendingan. Saat ini dia cuma butuh ketenangan. Jangan membuat dia berfikir
keras. Buat hatinya selalu merasa bahagia.”kata suster kepada nenek dan tente
Risa.
Memaksakan diri
memakan sesuap nasi dan seteguk susu sebelum meminum obat. Tak ingin
berlama-lama disana. Tante dan neneknya segera pulang setelah melihat Risa
meminum obatnya.
Selama beberapa
detik, Risa hanya terpaku. Matanya menatap kearah jendela. Dia masih tak
mempercayai kedatangan Dion semalam. Otaknya masih saja meragukan kenyataan
yang terhampar di depannya semalam.
Harapannya saat
itu, dia ingin bertemu dengan kedua orang tuanya. Alhasil. Hanya menghitung
menit, terdengar ketukan pintu dari luar. Hantinya kembali mekar saat melihat
ibu dan adiknya datang. Suasana ramai pun tak terelakkan.
Di luar sana.
Dion nampak lain. Hatinya masih berkecamuk rasa senang dan resah. Sesampainya
di rumah, Dion meletakkan tasnya di tepat tidur sambil menjatuhkan tubuhnya ke
atas tempat tidur dikamarnya. Mengambil handphone dan berusaha menghubungi
Risa.
“halo…” kata yang memulai
pembicaraannya. “Ris, bukannya saya ingin cepat-cepat meninggalkan kamu disana,
tapi nggak tahu kenapa, kedatangan keluargamu membuatku tak merasa nyaman.”
Dion mendecah.
“ngaak apa-apa kok, saya
mengerti. Ohhh iya, terimah kasih sudah mau menemaniku semalaman.” Risa
mengucapkannya dengan suara pelan.
Dion menyarankan
agar Risa lebih banyak beristirahat. Panjang cerita dalam via telepon antar
mereka. Namun, Risa tetap saja berhati ikhlas. Di pertengahan pembicaraannya,
Risa mengirimkan permintaan maafnya kepada Jasmin.
Dion, tetap
belum mau menceritakan yang sebenarnya. Wajahnya menggelap kala itu. Matanya
berkilat, terkejut mendengar ucapan Risa. Rasa bersalahnya semakin besar kepada
Risa. Sesegera mungkin Dion mengakhiri pembicaraannya setelah mendengar Risa
menyebut-nyebut nama Jasmin.
Kasihan dengan
Risa. Dalam keterpurukan perasaannya. Dia masih saja memikirkan kebahagiaan
orang lain. Terakhir dia mendengar suara Dion, hanya memlalui via telepon hari
itu. Rasanya perih jika harus memikirkan nasib cintanya.
Dion
satu-satunya pemuda yang mengajarkan cinta, sekaligus juga yang menorehkan luka
pertama di hatinya. Dion yang membawanya bermimpi, sekaligus memusnahkan
mimpinya. Jiwa Risa seketika hancur kalah harus melepaskan Dion untuk wanita
lain. Inilah yang selalu membuatnya sakit. Padahal di luar sana, Dion
sebenarnya sedang berjuang untuk menyadarkan Risa kalau sebenarnya dia juga
sangat mencintai Risa.
Tiga hari telah
berlalu. Kesehatan Risa sudah membaik dan siap untuk kembali manjalankan
aktivitas kesehariaannya. Dengan bermodalkan sebuah angkot, Risa pun sampai ke
kampusnya. Tak ada yang tahu kalau Risa akan ke kampus hari itu. Bahkan Ina
sekalipun.
Ketidakjelasan
perjalanan cintanya masih saja berlanjut.
Dunia memang
sempit. Langkah kakinya hentak berhenti saat bertemu dengan Ina dan beberapa
temannya di perjalanan menuju ruang kuliah. Tak berkata apa-apa. Ina
mangulurkan tangannya dan segera menarik Risa jauh dari teman-teman lainnya.
“apa kamu sudah bertemu dengan Dion??”,
tanya Ina dengan pelan. “iya sudah…waktu beberapa hari yang lalu dia datang ke
rumah sakit menemui saya. Katanya dia pernah bertemu dengan kamu. Informasi
tentang saya, semuanya dia tahu dari kamu. Gila ya…semua curhatanku diberi tahu
sama dia. Kan sebelumnya saya sudah pernah bilang kalau Dion sudah punya pacar.
Ina… Ina…”, Risa menyesali perbuatan Ina.
“ok…soal itu saya minta maaf. Kalau yang
di rumah sakit saya juga sudah tahu. Tapi, setelah itu, setiap hari Dion kesini
mencari kamu. Dua hari lalu, kemarin, bahkan mungkin hari ini,!! Saya juga tak
mengerti apa maksudnya. Kelihatannya sangat penting sampai-sampai dia tidak
ingin membicarakannya melalui telepon.”jelas Ina.
Wajah Risa
tegang. Menarik nafas dalam-dalam. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya
setelah mendengar ucapan Ina. Berlagak aneh. Diam dan memutar tubuhnya, lalu
melangkah meninggalkan Ina.
Langkah kaki
membawanya ke depan pintu toilet tak jauh dari ruang kuliahnya. Masuk ke dalam
toilet dan berdiri di depan cermin yang terpampang lebar. Menatap wajahnya dan
mengelus-elus dadanya yang terasa sakit. Jantungnya berdentam-dentam memukuli
dadanya. Rasa penasarannya semakin pekat menyelubungi hatinya. Apa sebenarnya
yang ada dipikiran seorang Risa??..
Keluar dan
melangkah entah kemana. Sulit untuk dimengerti. Seleret kerinduan menelusup ke
hati Risa. Kerinduan yang begitu menyakitkan. Mengusakkan dada dan
mengguncangkan emosinya. Betapa dia amat merindukan sosok Dion. Sesekali
matanya terlihat berkaca-kaca.
Dia tak
menyangka kalau ternyata Dion masih saja mencarinya. Walauoun sebenarnya dia
belum tahu pasti tujuan Dion yang setiap hari ke kampus untuk menanyakan
tentang dirinya.
Harinya dikampus
dipenuhi dengan rasa penasaran. “Hingga sore hari tiba, Dion belum juga
datang”, Risa mendecis dalam hati.
Saat itu, Dion
sedang bermalas-malasan di rumah. Dia tak pernah keluar kamar. Bisa dibilang,
dia sudah putus asa. Sulit untuk bertemu. Ketika Risa berjuang mencari kunci
yang membuatnya penasaran, Dion yang memegang kunci itu malah mengurung diri
dikamarnya. Masalah yang tak tahu kapan ditemukan ujungnya.
Keesokan
harinya. Risa menatap jam dinding dengan resah. Sudah hampir pagi. Diapun
bergegas mengambil air wudhu dan segera melaksanakan sholat subuh. Karena hari
itu merupakan hari libur, setelah beribadah Risa segera mengenkan pakaian
olahraga dengan jilbab yang rapi. Keluar rumah dengan meregangkan pinggangnya
yang terasa kaku. Berlari-lari kecil ditengah dinginnya pagi. Langkah kecil itu
membawanya ke sebuah taman kecil.
Nafas Risa
tertahan ditenggorokan, saat melihat lelaki yang duduk di sudut taman itu.
Sepertinya orang itu tidak asing lagi baginya. Begitu besar rasa penasaran Risa
hingga dia berjalan menuju tempat lelaki itu. Ternyata sosok Dion yang ada
disana.
Dion mendongak
saat merasakan seorang telah berdiri di depannya. Senyumnya mengembang saat
melihat Risa. Setitik rasa iba menelusup ke dalam hatinya saat melihat
perempuan itu tampak lelah. Wajahnya sedikit pucat. Mata indahnya tampak merah
dan sayu. Tanda-tanda kelelahan itu tak mampu menyamarkan kecantikan Risa dengan
jilbab rapinya.
Tatapan itu
kembali dirasakan Risa. Hatinya sakit dan kembali berderai air mata. Tak merasa
canggung lagi dihadapan Dion. Tak menyangka, Dion juga merasakan hal yang sama.
Dia berdiri dan berusaha menghibur Risa yang sudah tak berdaya lagi. Dia
menyuruh Risa untuk duduk didekatnya.
Sembari melepas
rindu dan menenangkan Risa, Dion memulai pembicaraan.
“sebenarnya saya sudah tahu semuanya.
Maaf kalau saya selalu membuatmu merasa bersalah. Sudah lama saya ingin
menceritakan ini semua, tapi keadaanmu membuatku cemas jika harus menambahnya
dengan kekonyolan yang telah terjadi. Saya dan Jasmin sudah tidak ada hubungan
apa-apa lagi. Kami sepakat untuk itu setelah aku bertemu denganmu. Jangan
menganggap dirimu orang ketiga. Aku juga baru tahu ternyata diluar sana sebelum
kamu datang ke dalam kehidupanku, Jasmin seingkuh dengan orang lain.”
Risa
yang tadinya menundukkan pandangan, tiba-tiba mengangkat dagunya tinggi dan
menatap wajah Dion. Lanjur cerita…
Permintaan maaf Dion membuat tubuhnya
seolah disiram air es. Dengan kedilemaan hatinya, Dion mengungkapkan isi
hatinya kepada Risa. “I Love U”, kalimat itulah yang mewakili isi hatinya.
Tak sannggup
menahan rasa bahagianya. Risa menyandarkan kepalanya dipundak Dion. Telinganya
menangkap suara detakan jantung yang belum juga melambat. Serasa dunia pagi itu
milik mereka berdua.
Suasana hangat
tercipta disana. Mentari pagi menjadi saksi bisu ikatan cinta mereka. Namun,
mereka tak mau seperti pasangan lain di luar sana. Berbicara panjang lebar
membuat mereka berfikiran dewasa.
“saya memutuskan
untuk tidak berpacaran. Cukup bagiku mengetahui kalau ternyata penantianku
selama ini tidak sia-sia. Ternyata cinta
ini juga dirasakan olehmu. Kalau memang kita berjodoh, pasti akan
dipertemukan sampai saatnya nanti. Setidaknya hubungan kakak-adik bisa dijadika
icon untuk saling menyayangi. Aku juga cinta kamu”. Itulah yang diucapkan Risa
kepada Dion dengan suara manja.
Dion pun setuju
dengan keputusan Risa.
“Jangan pernah
sedikit pun berniat untuk melupakan tatapan masa lalu, karena dia akan kembali
menghiasi masa depanmu”. Dion mengucapkannya sambil tersenyum sembari mengolok
dan berkata….
“Apakah ini artinya aku harus balik
mengejarmu?????”
(Goresan Pena Khaeriyah , 2010)