I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suatu tahapan yang sangat penting dalam teknik
kultur jaringan adalah aklimatisasi planlet yang ditanam secara in vitro
kedalam rumah kaca atau langsung ke lapang (Pospisilova et al, 1996).
Aklimatisasi merupakan kegiatan akhir teknik kultur jaringan. Aklimatisasi
adalah proses pemindahan planlet dari lingkungan yang terkontrol (aseptik dan
heterotrof) ke kondisi lingkungan tak terkendali, baik suhu, cahaya, dan
kelembaban, serta tanaman harus dapat hidup dalam kondisi autotrof, sehingga
jika tanaman (planlet) tidak diaklimatisasi terlebih dahulu tanaman (planlet)
tersebut tidak akan dapat bertahan dikondisi lapang. Aklimatisasi dilakukan
untuk mengadaptasikan tanaman hasil kultur jaringan terhadap lingkungan baru
sebelum ditanam dan dijadikan tanaman induk untuk produksi dan untuk mengetahui
kemampuan adaptasi tanaman dalam lingkungan tumbuh yang kurang aseptik.
Wetherell (1982) menuliskan aklimatisasi bertujuan untuk mengadaptasikan
tanaman hasil kultur terhadap lingkungan baru sebelum kemudian ditanam di lahan
yang sesungguhnya. Torres (1989) menuliskan aklimatisasi adalah suatu proses
dimana suatu tanaman beradaptasi sengan perubahan lingkungan.
Pada tahap ini (aklimatisasi) diperlukan ketelitian
karena tahap ini merupakan tahap kritis dan seringkali menyebabkan kematian
planlet. Kondisi mikro planlet ketika dalam botol kultur adalah dengan
kelembaban 90-100 %. Beberapa sumber menuliskan penjelasan yang berkaitan
dengan hal tersebut. Bibit yang ditumbuhkan secara in vitro mempunyai kutikula
yang tipis dan jaringan pembuluh yang belum sempurna (Wetherell, 1982).
Kutikula yang tipis menyebabkan tanaman lebih cepat kehilangan air dibanding
dengan tanaman yang normal dan ini menyebabkan tanaman tersebut sangat lemah
daya bertahannya (Torres, 1989). Walaupun potensialnya lebih tinggi, tanaman
akan tetap menjadi layu karena kehilangan air yang tidak terbatas (Pospisilova et
al, 1996). Kondisi tersebut menyebabkan tanaman tidak dapat langsung
ditanam dirumah kaca
Mengacu pada penjelasan tersebut di atas maka
planlet terlebih dahulu harus ditanam didalam lingkungan yang memadai untuk
pertumbuhannya kemudian secara perlahan “dilatih” untuk terus dapat beradaptasi
dengan lingkungan sebenarnya di lapang. Lingkungan yang tersebut secara umum
dapat diperoleh dengan cara memindahkan planlet kedalam plastik atau boks kecil
yang terang dengan terus menurunkan kelembaban udaranya. Planlet-planlet
tersebut kemudian diaklimatisasi secara bertahap mengurangi kelembaban relatif
lingkungannya, yaitu dengan cara membuka penutup wadah plastik atau boks secara
bertahap pula Selain itu, tanaman juga memerlukan akar untuk menyerap hara agar
dapat tumbuh dengan baik sehingga dalam tahap aklimatisasi ini diperlukan suatu
media yang dapat mempermudah pertumbuhan akar dan dapat menyediakan hara yang
cukup bagi tanaman (planlet) yang diaklimatisasi tersebut. Menurut sutiyoso
(1986) media yang remah akan memudahkan pertumbuhan akar dan melancarkan aliran
air, mudah mengikat air dan hara, tidak mengandung toksin atau racun, kandungan
unsur haranya tinggi, tahan lapuk dalam waktu yang cukup lama. Media
aklimatisasi bibit kultur jaringan krisan dan kentang di Indonesia saat ini
adalah media arang sekam atau media campuran arang sekam dan pupuk kandang
(Marzuki, 1999; Sinaga, 2001). Arang sekam merupakan salah satu media
hidroponik yang baik karena memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut; mampu
menahan air dalam waktu yang relatif lama, termasuk media organik sehingga
ramah lingkungan, lebih steril dari bakteri dan jamur karena telah dibakar
terlebih dahulu, dan hemat karena bisa digunakan hingga beberapa kali.
1.2. Tujuan
dan Kegunaan
Tujuan
dari praktikum ini yaitu Memberikan pengalaman kepada praktikan tentang tata cara aklimatisasi
planlet hasil kultur jaringan.
Kegunaan mengadaptasikan tanaman hasil kultur
jaringan terhadap lingkungan baru sebelum ditanam di lapang dan untuk
mengetahui kemampuan adaptasi tanaman dalam lingkungan tumbuh yang kurang
aseptik
II. TINJAUAN PUSTAKA
Aklimatisasi merupakan suatu tahapan yang penting
karena pada tahap ini tanaman (planlet) akan diadaptasikan agar dapat hidup di
lapang sehingga mampu menjadi tanaman yang normal. Seperti yang telah
disebutkan pada bagian latar belakang bahwa planlet hasil kultur jaringan
adalah tanaman yang bersifat aseptic dan heterotrof karena terbiasa di
lingkungan yang optimum untuk petumbuhannya, daunnya belum mampu
berfotosintesis, sangat rentan terhadap respirasi berlebih, dan dipastian
mempunyai potensi kematian yang tinggi jika langsung ditanam di lapang tanpa
adanya proses aklimatisasi terlebih dahulu. Percobaan ini menggunakan bibit
krisantimum (Chrysanthemum sp.) hasil kultur jaringan yang telah berumur
8-12 minggu dan bibit kentang (Solanum tuberosum L.) hasil enkapsulasi.
(Wetherelll, 1982).
Hal yang pertama kali dilakukan praktikan adalah
mengeluarkan planlet dari botol dengan hati-hati agar tidak putus dan pastikan
bibit tersebut telah berakar, dengan pertimbangan bahwa planlet yang dinilai
telah memiliki akar yang cukup akan memudahkan dalam proses penyerapan hara
dari media tanam. Kemudian planlet dicuci bersih dengan air yang sudah dimasak
secara perlahan sampai semua agar-agar sudah tidak ada pada akar planlet,
setelah itu planlet di rendam pada larutan Dithane/benlate 1 g/L + Agrept 1 g/L
selama 10 menit, larutan tersebut berfungsi sebagai bakterisida dan fungisida.
Media yang digunakan yaitu arang sekam yang sudah disterilkan kemudian dibasahi
sampai jenuh dengan air steril. Lalu planlet ditanam dengan jarak yang tidak
terlalu rapat agar bibit tidak membusuk. Wadah tanam (pot) yang digunakan yaitu
gelas transparan bekas air mineral. Wadah yang telah ditanami planlet tersebut
selanjutnya ditutup dengan gelas transparan lainnya, hal ini dilakukan untuk
menjaga kelembaban dilingkungan tumbuh planlet lalu disimpan di ruang kultur.
Penyiraman dilakukan hanya jika media dinilai kekurangan air,selain itu penyiramana
juga dilakukan untuk menjaga kelembaban. (Marzuki, 1999; Sinaga, 2001).
Data pengamatan menunjukan bahwa dari mulai 0 MST
sampai 3 MST untuk variable pengamatan jumlah planlet hidup dan tinggi planlet
terus mengalami penurunan (tabel 1 dan tabel 2). Terlihat bahwa data pada
variable tinggi planlet dapat dikatakan tidak wajar karena hal ini bertentangan
dengan teori yang mengatakan bahwa pertumbuhan adalah suatu proses pertambahan
ukuran yang tidak dapat balik, sehingga tidak mungkin mengalami penurunan. Hal
ini dapat disebabkan karena berkurangnya jumlah planlet yang hidup sedangkan
data ulangan tinggi planlet adalah hasil penjumlahan data tinggi planlet dalam
setiap ulangan dibagi dengan jumlah ulangan, sehingga dengan berkurangnya
jumlah planlet yang hidup terjadi pengurangan angka yang dibagi sedangkan angka
pembagi jumlahnya tetap. Data variabel pengamatan jumlah daun mengalami
peningkatan dari 0 MST sampai 2 MST, lalu mengalami penurunan pada 3 MST. Hal
ini disebabkan oleh adanya absisi (gugur) pada daun planlet (tabel 1 dan 2).
Selain itu persentase atau tingkat kematian planlet yang diaklimatisasi
mengalami kenaikan yang signifikan dari 0 MST sampai 3 MST, bahkan lonjakan
tertinggi dialami dari 2 MST ke 3 MST (tabel 3). Selain dari tabel, data juga
dapat dilihat dalam bentuk grafik. (Torres, 1989).
III.
METODOLOGI
3.1. Tempat
dan Waktu
Praktikum aklimatisasi kultur
jaringan ini dilaksanakan di kebun
Yayasan Labiota, Malino Kab. Gowa, pada Hari Sabtu, 9 April 2011 pukul 16.00 sampai selesai.
3.2.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu
kotak plastik. Adapun bahan yang
digunakan yaitu air bersih, bibit kentang yang sudah dikulturkan, air, sekam
bakar, dan fungisida.
3.3. Prosedur
Kerja
Adapun prosedur kerja yang dilakukan
dalam praktikum ini yaitu:
a. Keluarkan
planlet dari botol dengan hati-hati agar tidak putus dan pastikan bibit
tersebut telah berakar, cuci bersih planlet dengan air yang sudah dimasak
secara perlahan dan pastikan semua agar-agar sudah tidak ada pada akar planlet
b. Rendam
tunas mikro yang telah bersih dengan fungisida 1 g/L selama 10 menit, kemudian
keringanginkan.
d. Sekam bakar
yang sudah steril dibasahi sampai jenuh dengan air steril, tanam planlet dengan
jaraj yang tidak terlalu rapat guna mencagah bibit membusuk,
e. Kemudian tutup setelah itu letakkan ditempat yang terkena
cahaya matahari tidak terlalu banyak. Dan pindahkan secara bertahap ke tempat
yang mendapat cahaya matahari yang cukup.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Gambar: Pembuatan Lubang Untuk Penanaman
Gambar:
Pemotongan Planlet
Gambar: Planlet yang telah ditanam
4.2. Pembahasan
Aklimatisasi
adalah proses pemindahan planlet dari lingkungan yang terkontrol (aseptik dan
heterotrof) ke kondisi lingkungan tak terkendali, baik suhu, cahaya, dan
kelembaban, serta tanaman harus dapat hidup dalam kondisi autotrof, sehingga
jika tanaman (planlet) tidak diaklimatisasi terlebih dahulu tanaman (planlet)
tersebut tidak akan dapat bertahan dikondisi lapang.
Pada tahap ini (aklimatisasi)
diperlukan ketelitian karena tahap ini merupakan tahap kritis dan seringkali
menyebabkan kematian planlet. Kondisi mikro planlet ketika dalam botol kultur
adalah dengan kelembaban 90-100 %.
Pada tanaman kultur jaringan hubungan
vascular antara bagian tunas dengan akar umumnya tidak baik sehingga menurunka
kondulsi air. Factor lain yang perlu dipahami adalah bahwa kondisi kultur
jaringan menyebabkan tanaman tumbuh secara heterotrofik padahal dalam kondisi in-vivo tanaman harus tumbuh secarra
autotrofik. Artinya, sumber karbon yang biasanya diberikan dalam medium kultur
jaringan disediakan oleh tanamanitu sendiri melalui proses fotosintesis setelah
tanaman kultur jaringan dipindahkan ke kondisi in-vivo. Untuk membantu proses aklimatisasi untuk membantu proses
aklimatisasi di luar lingkungan
laboratorium biasanya dilakukan terlebih dahulu aklimatisasi kulur
jaringan, misalnya dengan menuruunkan kelembaban relative.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat
ditarik kesimpulan bahwa aklimatisasi
merupakan tahapan yang sangat penting dalam kultur jaringan karena pada tahap
inilah planlet hasil kultur jaringan akan beradaptasi baik secara morfologi
maupun fisiologi untuk dapat hidup di lapang. Percobaan ini memberikan gambaran
bahwa aklimatisasi bukanlah suatu hal yang bisa dilakukan dengan begitu saja,
diperlukan ketelitian dan pengetahuan yang baik agar dapat berhasil. Dari
sejumlah planlet yang diaklimatisasi, hanya sebagian kecil saja yang berhasil
(dapat dikatakan bahwa tingkat adaptasi tanaman terhadap lingkungan di luar
botol kultur adalah lemah). Kematian planlet pada umumnya disebabkan oleh
respirasi planlet yang tinggi yang menyebabkan planlet layu dan mati.
5.2.
Saran
Percobaan aklimatisasi ini sebaiknya
menggunakan media tanam yang berbeda-beda sehingga praktikan dapat memperoleh
pengetahuan tentang media tanam apa yang lebih baik digunakan untuk
aklimatisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar